Setiap pagi aku berangkat mengajar ke sekolah di pelosok desa, menyusuri jalanan berbatu dengan motor tua yang sudah rewel. Gaji yang kuterima hanya tujuh ratus ribu rupiah—itu pun sering datang terlambat dua sampai tiga bulan. Dan ya, tak usah dibahas betapa jauhnya angka itu dari cukup. Tapi yang lebih sulit dari sekadar angka adalah beban batin yang tak bisa kuhitung dengan kalkulator.
Di rumah, istri mulai sering menghela napas panjang. Anak-anak pun kadang bertanya polos, "Ayah, hari ini kita makan lauk apa?" Pertanyaan itu, meski terdengar sederhana, bisa terasa seperti hantaman keras bagi hati seorang ayah yang tak bisa memberi lebih.
Aku tak pernah berhenti mengajar. Bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena di ruang kelas itu, aku merasa hidup. Murid-muridku datang dengan mata yang berbinar, walau sandal mereka sudah bolong dan seragamnya kusam. Ada semangat dalam diri mereka yang membuatku tetap berdiri—meski batinku kerap roboh di rumah.
Tapi akhir-akhir ini, aku merasa ada yang hilang. Salatku tetap lima waktu, mulutku tetap melantunkan Al-Qur’an, tapi tak lagi ada rasa yang sama. Dulu, ibadah bisa menenangkan. Sekarang, hanya rutinitas. Aku seperti terjebak dalam kelelahan yang sunyi. Sampai akhirnya aku membaca satu kisah yang menohok dada ini.
Seorang perempuan bertanya pada seorang ulama besar, kenapa dia tak lagi merasakan manisnya iman setelah menikah. Si ulama tak langsung menjawab tentang salat atau puasa. Ia malah bertanya, "Bagaimana perhatianmu pada suamimu?" Si perempuan terkejut, merasa pertanyaannya disimpangkan. Tapi si ulama menjelaskan, bahwa kenikmatan iman bisa hilang jika kita tak menunaikan hak-hak manusia terdekat. Termasuk suami. Termasuk istri. Termasuk anak-anak.
Saat membaca itu, aku diam lama. Menatap dinding, dan merasa seakan ditampar oleh waktu. Mungkin selama ini aku terlalu fokus pada rasa lelahku sendiri, sampai tak melihat luka-luka kecil di hati istri. Mungkin aku terlalu sibuk bertahan, sampai lupa menggenggam tangannya. Mungkin, di tengah semua hiruk pikuk perjuangan, aku kehilangan arah pulang.
Rasa hambar dalam ibadah itu bukan karena aku menjauh dari Allah, tapi karena aku mulai lalai pada tugas-tugas kecil yang justru paling dekat dengan ridha-Nya.
Aku tak ingin jadi guru yang hebat di depan murid, tapi gagal jadi suami dan ayah di rumah. Maka malam itu, aku bicara dengan istri. Aku minta maaf. Bukan karena aku sudah kalah, tapi karena aku sadar, aku tak bisa berjuang sendirian. Aku perlu ia kembali menggenggam erat tanganku. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi untuk tetap hidup dengan arti.
Dan esoknya, saat aku berdiri di kelas, aku rasakan ada yang berbeda. Mungkin rezeki belum berubah. Tapi rasanya hatiku sedikit lebih ringan. Karena ternyata, iman itu bisa tumbuh kembali, bukan saat semuanya menjadi mudah, tapi saat kita mulai kembali peduli pada yang terdekat. Pada cinta. Pada kehadiran. Pada hak-hak kecil yang sempat kita lupakan.
Aku masih guru honorer. Masih di pedalaman. Tapi kini aku tahu, bahwa perjuangan ini tak sekadar soal uang dan sabar. Tapi juga tentang bagaimana kita tetap menjaga makna dalam relasi—karena dari sanalah rasa manis itu kembali tumbuh. Pelan-pelan, tapi nyata. []
