Indonesia sudah puluhan tahun merdeka, tapi tak sedikit dari kita yang masih terjebak dalam bentuk penjajahan yang jauh lebih halus: diperbudak oleh hawa nafsu—terutama nafsu membuang waktu. Hari ini banyak orang merasa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan.
Bebas scrolling media sosial selama berjam-jam, bebas menunda kebaikan dengan alasan “nanti”, bebas melakukan apapun asalkan terasa nyaman. Tapi jika kita jujur, itu bukan kebebasan. Itu adalah bentuk perbudakan modern, ketika diri sendiri dikendalikan oleh keinginan-keinginan yang tak pernah selesai.
Yang lebih mengkhawatirkan, rasa bersalah pun mulai hilang. Sehari berlalu tanpa ibadah tambahan dianggap biasa. Waktu habis tanpa tujuan dianggap wajar. Akhirnya, hati terbiasa menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak memberi manfaat sedikit pun. Inilah jenis penjajahan yang tidak terlihat – ia tidak membawa senjata, tapi pelan-pelan melumpuhkan ruh dan memutus hubungan kita dengan Allah.
Ibnu Qayyim rahimahullah menyadarkan kita dengan ucapannya yang tajam:
“إضاعة الوقت أشد من الموت، لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها.”
Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutusmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutus dirimu dari dunia dan penghuninya.
Jadi sebenarnya, orang yang menyia-nyiakan waktu sedang membuka pintu kehancuran untuk dirinya sendiri. Ia masih hidup di dunia, tapi hatinya sudah jauh dari Allah.
Itulah sebabnya Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menegaskan:
“العبد من عبد الهوى، ÙˆØ§Ù„ØØ± من ØªØØ±Ø± منه.”
Hamba adalah orang yang diperbudak hawa nafsunya, sedangkan orang merdeka adalah yang terbebas darinya.
Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajah luar, tapi bebas dari penjajahan di dalam diri, yaitu hawa nafsu yang mengikat dan mengendalikan. Kalau hawa nafsu masih jadi “tuan” bagi hati, maka kita belum benar-benar merdeka. Sebaliknya, ketika seseorang mampu menahan dirinya dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan menjadikan waktu sebagai sarana mendekat kepada Allah, pada saat itulah dia benar-benar menjadi manusia merdeka.
Hal ini sangat selaras dengan doa Nabi Ibrahim عليه السلام yang Allah abadikan dalam QS. Ibrahim: 35:
“Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku serta anak cucuku dari menyembah berhala.”
Berhala di zaman sekarang mungkin tidak lagi berupa patung, tapi bisa hadir dalam bentuk lebih halus: hawa nafsu yang ditaati, kesenangan yang dipertuhankan, dan waktu yang dihabiskan tanpa makna. Selama berhala-berhala ini masih menempati hati, maka sebuah negeri akan tampak aman secara lahiriah namun rapuh secara batin.
Karena itu, momentum kemerdekaan seharusnya bukan hanya dijadikan ajang mengenang perjuangan fisik para pendahulu, tapi juga menjadi momen untuk bertanya pada diri sendiri: apakah aku sudah merdeka dari hawa nafsuku? Sebab membangun peradaban tidak mungkin dilakukan oleh manusia yang masih diperbudak hasratnya sendiri. Peradaban hanya akan lahir dari generasi yang menghargai waktunya, sadar akan tujuan hidupnya, dan berani membebaskan diri dari keinginan-keinginan yang membuatnya jauh dari Allah.
Maka mulailah dari hal sederhana: mengurangi waktu yang terbuang, meniatkan setiap aktivitas untuk kebaikan, dan membiasakan diri meninggalkan hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Karena setiap detik yang diisi dengan kesadaran akan membawa kita selangkah lebih dekat pada kemerdekaan yang sebenarnya—kemerdekaan yang membuat kita kuat membangun Indonesia menjadi negeri yang bermartabat dan diberkahi.
Jangan sampai bendera sudah lama berkibar, tapi hati kita masih terikat pada rantai hawa nafsu. []
