Keputusan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk mengganti nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al Ihsan menjadi Rumah Sakit Welas Asih menimbulkan kontroversi yang tak bisa diabaikan begitu saja. Meski tampak sederhana, perubahan nama ini menyimpan persoalan yang lebih kompleks dari sekadar administrasi atau estetika bahasa. Ia menyentuh ranah identitas, sejarah, budaya, hingga sensitivitas keberagaman yang menjadi fondasi utama kehidupan sosial masyarakat Jawa Barat.
Alasan yang diajukan oleh Gubernur tampaknya hendak membangkitkan nilai-nilai lokalitas, dengan menyebut bahwa istilah "Welas Asih" dianggap lebih dekat dengan keseharian masyarakat Sunda.
Namun, klaim ini justru membuka ruang kritik tajam. Secara etimologis dan linguistik, istilah "Welas Asih" bukan berasal dari bahasa Sunda, melainkan dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Sunda sendiri, makna belas kasih lebih tepat diwakili oleh kata “asih”, “karunya”, atau “deudeuh”.
Maka ketika nama baru yang diusulkan justru berasal dari bahasa daerah lain, sementara tujuannya adalah memperkuat identitas lokal Sunda, muncul pertanyaan besar: sejauh mana pemahaman pemimpin daerah ini terhadap budaya yang hendak ia angkat?
Ketimpangan ini menjadi semakin tajam karena nama yang hendak diganti—Al Ihsan—memiliki akar kuat dalam tradisi keislaman. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang bermakna "berbuat baik secara optimal karena merasa diawasi oleh Tuhan."
Dalam tradisi Islam, ihsan adalah konsep spiritual mendalam yang melampaui sekadar kebaikan biasa. Ia adalah inti dari perilaku moral seorang mukmin. Maka ketika nama yang kaya makna spiritual seperti Al Ihsan hendak diganti dengan nama baru yang justru tidak berasal dari budaya Sunda, publik berhak mempertanyakan: apakah ini bagian dari upaya sistematis untuk mengurangi simbol-simbol keislaman di ruang publik?
Kekhawatiran semacam ini bukanlah rekaan. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul gejala di berbagai tempat, di mana simbol Arab atau Islam dipersempit ruangnya atas nama pelestarian budaya lokal atau nasionalisme sempit.
Di tengah masyarakat yang religius seperti Jawa Barat, penghapusan nama bernuansa Islam tanpa landasan yang jelas akan mudah dipersepsikan sebagai bentuk pengingkaran terhadap identitas spiritual masyarakatnya. Padahal, Islam dan budaya Sunda telah bersinergi secara historis sejak berabad-abad lalu. Banyak nilai-nilai dalam Islam seperti ihsan, sabar, dan ikhlas hidup berdampingan dan justru memperkuat nilai-nilai kearifan lokal Sunda.
Selain soal identitas, keputusan mengganti nama rumah sakit juga menyentuh persoalan historis dan psikologis. Nama RSUD Al Ihsan bukan sekadar label, melainkan bagian dari memori kolektif masyarakat. Ia telah hadir sebagai institusi pelayanan kesehatan publik dengan sejarah, reputasi, dan pengalaman panjang.
Menghapus nama tersebut tanpa penghormatan terhadap perjalanan sejarahnya dapat dipandang sebagai pemutusan warisan sosial yang telah terbentuk. Dalam studi memori sosial, tindakan semacam ini bisa menciptakan jarak emosional masyarakat terhadap institusi yang semestinya mereka percaya dan andalkan.
Lebih jauh lagi, kebijakan perubahan nama ini mencerminkan gaya pengambilan keputusan yang elitis dan tidak partisipatif. Tak ada kabar bahwa keputusan tersebut lahir dari dialog dengan masyarakat, akademisi, budayawan, atau tokoh agama. Tidak terlihat adanya riset linguistik atau kajian budaya yang mendalam. Padahal, dalam sistem pemerintahan demokratis, setiap kebijakan publik, apalagi yang menyangkut identitas masyarakat luas, harus dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Ketika sebuah kebijakan strategis dijalankan hanya berdasarkan preferensi pribadi atau kesan sepihak, maka yang muncul bukanlah kebijakan berbasis rakyat, melainkan dominasi kekuasaan atas simbol-simbol sosial.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan? Apakah harus menolak sepenuhnya upaya perubahan ini? Tidak selalu demikian. Gagasan mengangkat budaya lokal tentu sah dan bisa saja didukung. Namun, ia harus dijalankan dengan pemahaman yang benar dan pendekatan yang inklusif.
Daripada mengganti nama RSUD Al Ihsan secara total, akan jauh lebih bijak jika Pemerintah Provinsi Jawa Barat mempertimbangkan integrasi nilai-nilai tersebut. Misalnya, nama rumah sakit bisa dikembangkan menjadi “RSUD Al Ihsan – Welas Asih” atau “RS Al Ihsan Asih”, sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai spiritual Islam sekaligus mengakomodasi nilai budaya lokal. Alih-alih menghapus yang lama, semangat baru bisa tumbuh berdampingan dengan warisan yang telah ada.
Identitas kultural dan religius masyarakat bisa tetap terjaga, sementara aspirasi lokal juga mendapat tempat yang layak. Inilah esensi dari kebijakan publik yang sehat: tidak memaksakan kehendak penguasa, tetapi merangkul kehendak rakyat dalam semangat keberagaman dan saling menghormati.
Kebijakan bukan hanya soal teknis dan administratif. Ia menyangkut rasa, makna, dan harga diri masyarakat yang dilayani. Maka jika niatnya adalah menciptakan kebaikan dan kedekatan, mari kita pastikan bahwa setiap keputusan juga lahir dari ihsan: berbuat dengan kesadaran penuh, dalam pengawasan akal sehat, budaya, dan nurani. []

