Hal Sederhana yang Ternyata Berharga

Ilustrasi Hal Sederhana

Ada sebuah kisah lama tentang seorang penambang yang mencari emas seumur hidupnya. Ia menggali gunung, menyusuri sungai, menghabiskan seluruh waktunya untuk mengejar kilau logam kuning itu. Ketika tua, ia pulang dengan tangan hampa. Di beranda rumahnya yang lapuk, ia bertemu anaknya yang sudah dewasa—asing baginya. "Ayah mencari emas," katanya pelan, "tapi ternyata emasnya ada di sini, bersamamu. Sayang, waktu sudah tak bisa dikembalikan."


Itulah potret kita. Manusia modern yang berlari mengejar cahaya gemerlap di kejauhan, sementara cahaya sejati justru ada dalam genggaman—hanya saja kita terlalu sibuk untuk menyadarinya.


Ilusi Kemewahan

Kita hidup di zaman yang terobsesi dengan pencapaian yang enak dipamerkan (flexing). Media sosial penuh dengan pamer kesuksesan: mobil mewah, rumah megah, liburan ke negeri seberang. Tak heran jika akhirnya kita pun terjebak dalam pemikiran yang sama: kebahagiaan identik dengan kepemilikan, kesuksesan diukur dari jumlah harta, dan nilai diri ditentukan oleh jabatan.


Dalam perspektif psikologi, ini disebut hedonic treadmill—treadmill kesenangan. Kita terus berlari mengejar kepuasan materi, namun tak pernah benar-benar sampai. Sebab sifat duniawi memang demikian: ketika satu keinginan terpenuhi, muncul keinginan baru yang lebih besar. Tak ada titik puas yang sejati.


Al-Quran mengingatkan kita dalam surah At-Takatsur: "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur." Ayat ini bukan sekadar larangan mencari rezeki, melainkan peringatan tentang prioritas yang keliru. Kita begitu sibuk mengumpulkan yang fana, hingga lupa mengurus yang abadi.


Waktu: Uang yang Tak Bisa Dicetak Ulang

Dari semua yang kita miliki, waktu adalah satu-satunya yang benar-benar demokratis. Orang kaya dan miskin sama-sama diberi 24 jam sehari. Bedanya, orang bijak memahami bahwa waktu adalah satu-satunya aset yang tak bisa dibeli kembali setelah terpakai.


Saya teringat seorang sahabat yang bekerja lembur bertahun-tahun. Ia bilang, "Demi anak-anak, aku kerja keras." Namun ketika anaknya wisuda, sang anak naik panggung sendirian. Ayahnya ada di sana, tapi asing. Mereka tak punya percakapan, tak ada kenangan bersama. Uang sekolah terbayar, tapi masa kecil yang hilang tak tergantikan.


Rasulullah ﷺ bersabda: "Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu."


Hadis ini mengajarkan kesadaran temporal—bahwa ada jendela waktu yang jika terlewat, takkan kembali. Anak kecil yang ingin dipeluk hari ini, mungkin besok sudah remaja yang malu berpegangan tangan. Orang tua yang masih sehat hari ini, mungkin tahun depan sudah lemah dan butuh perawatan.


Maka jangan tunda untuk hadir. Jangan tunggu sampai "nanti kalau sudah sukses" atau "setelah proyek ini selesai." Sebab "nanti" itu sering tak pernah tiba. Yang tiba justru penyesalan.


Kepercayaan: Kristal yang Mudah Pecah

Ada pepatah Arab: "Kepercayaan adalah seperti kertas. Sekali kusut, tak akan pernah sempurna lagi meski disetrika."


Dalam praktik psikologi klinis, banyak klien yang datang dengan luka kepercayaan. Pasangan yang berselingkuh, teman yang mengkhianati, keluarga yang mengecewakan. Dan yang paling menyakitkan bukanlah kejadiannya, melainkan hancurnya fondasi hubungan—kepercayaan itu sendiri.


Membangun kepercayaan butuh bertahun-tahun: konsistensi, kejujuran, integritas. Namun menghancurkannya? Cukup satu kebohongan, satu pengkhianatan, satu janji yang diingkari.


Islam sangat menekankan amanah—sifat dapat dipercaya. Nabi Muhammad ﷺ bahkan sebelum menjadi Rasul sudah dikenal sebagai Al-Amin, yang terpercaya. Karena beliau paham, tanpa kepercayaan, hubungan antarmanusia akan runtuh. Masyarakat akan hancur.


Sadarkah kita betapa mahalnya kepercayaan yang kita miliki hari ini? Kepercayaan pasangan yang membiarkan kita pergi tanpa curiga. Kepercayaan anak yang masih percaya ayah ibunya adalah pahlawan. Kepercayaan sahabat yang mau bercerita tanpa takut dihakimi.


Jangan sia-siakan. Sebab kepercayaan yang hilang mungkin tak akan kembali, walau kita menangis memohon.


Komunikasi: Jembatan atau Jurang?

Ada pasangan yang tidur seranjang setiap malam, namun hatinya terpisah benua. Ada keluarga yang satu rumah, tapi masing-masing tenggelam dalam layar gadget. Mereka dekat secara fisik, tapi jauh secara emosional.


Mengapa? Karena komunikasi yang mati.

Komunikasi bukan sekadar bicara. Komunikasi adalah seni memahami dan dipahami. Ia butuh kehadiran penuh, empati, dan ketulusan. Dalam Al-Quran, Allah berfirman: "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik." (Al-Isra: 53)


"Yang lebih baik" bukan berarti sempurna, melainkan yang membangun, yang menyembuhkan, yang menyatukan. Bukan kata-kata yang melukai, meski dibalut dengan "aku kan cuma bercanda" atau "demi kebaikanmu."


Berapa banyak hubungan yang runtuh bukan karena masalah besar, melainkan karena komunikasi yang buruk? Suami yang tak mau mendengar keluh kesah istri. Istri yang selalu menyalahkan tanpa mencoba memahami. Orang tua yang memerintah tanpa pernah bertanya perasaan anak.


Dan yang paling tragis: kita baru menyadari pentingnya komunikasi ketika sudah terlambat. Ketika sudah ada dinding terlalu tinggi untuk dipanjat, jurang terlalu dalam untuk disebrangi.


Maka berkomunikasilah hari ini. Tanyakan kabar dengan tulus. Dengarkan tanpa sambil main HP. Katakan apa yang terpendam sebelum waktu merenggutnya.


Mutiara Sederhana yang Terlupakan

Dua frasa paling powerful dalam bahasa manusia: "Maafkan aku" dan "Terima kasih."


Keduanya sederhana, gratis, tapi entah mengapa begitu sulit keluar dari mulut kita. Ego kita yang besar membuat kata "maaf" terasa seperti kekalahan. Kesibukan kita membuat kata "terima kasih" terasa sepele.


Padahal, dalam Islam, meminta maaf dan berterima kasih adalah ibadah. Rasulullah ﷺ bersabda: "Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka dia tidak berterima kasih kepada Allah."


Saya pernah menangani kasus seorang ayah tua yang sakit keras. Ia memanggil anak-anaknya, meminta maaf atas semua kekurangan dan kesalahannya selama membesarkan mereka. Anak-anaknya menangis. Bukan karena sedih ayahnya sakit, tapi karena baru kali itu mereka mendengar ayahnya meminta maaf. Selama puluhan tahun, ego sang ayah menghalangi kata sederhana itu.


Beruntung masih ada waktu. Bagaimana dengan mereka yang kehabisan waktu?

Berapa banyak orang yang menyesal tak sempat bilang "maaf" atau "terima kasih" kepada orang yang sudah tiada? Berapa banyak hubungan yang bisa diselamatkan hanya dengan dua kata ajaib itu?


Jangan tunggu sampai terlambat. Jangan biarkan ego mengalahkan cinta. Katakan sekarang, selagi masih ada waktu, selagi orang itu masih bisa mendengar.


Belajar dari Episode Kehilangan

Ada hikmah dalam kehilangan. Kita baru menghargai kesehatan ketika sakit. Baru merasakan pentingnya keluarga ketika jauh. Baru memahami arti kehadiran seseorang ketika ia pergi.


Tapi mengapa kita harus menunggu kehilangan untuk belajar menghargai?

Dalam psikologi, ini disebut loss aversion—kita lebih merasakan sakit kehilangan dibanding kebahagiaan memiliki. Padahal seharusnya kita bisa belajar tanpa harus kehilangan dulu.


Caranya: dengan berlatih mindfulness atau kesadaran penuh. Sadari siapa yang ada di hadapan kita hari ini. Rasakan nikmat bisa tertawa bersama keluarga. Hargai momen sederhana: sarapan pagi bersama, obrolan ringan sore hari, pelukan sebelum tidur.


Islam mengajarkan syukur—bersyukur atas nikmat yang ada, sekecil apapun. Bersyukur bukan hanya dengan lisan, tapi dengan memanfaatkan nikmat itu sebaik-baiknya. Punya waktu? Gunakan untuk kebaikan. Punya kepercayaan? Jaga dengan integritas. Punya orang yang menyayangi? Balas dengan kehadiran penuh.


Mengubah Perspektif

Hari ini, coba lakukan refleksi sederhana:

Bayangkan jika besok adalah hari terakhir kita dengan orang-orang terkasih. Apa yang akan kita lakukan? Kita pasti akan memeluk mereka, meminta maaf, mengucap terima kasih, menghabiskan waktu berkualitas.


Lalu mengapa kita menunda itu semua?

Mengapa kita lebih memilih lembur demi uang tambahan, sementara anak di rumah menunggu kita membacakan dongeng? Mengapa kita lebih suka scrolling media sosial, sementara pasangan di sebelah ingin diajak ngobrol? Mengapa kita menyimpan dendam bertahun-tahun, sementara kata "maaf" hanya butuh satu detik untuk diucapkan?


Dunia telah menipu kita dengan kilau palsu. Ia menjual mimpi bahwa kebahagiaan ada di sana, di luar sana, kalau sudah punya ini dan itu. Padahal kebahagiaan sejati ada di sini, di saat ini, di antara orang-orang yang mencintai kita.


Harta yang Tak Ternilai

Suatu hari nanti, ketika kita sudah tua dan lemah, ketika harta yang kita kumpulkan akan diwariskan, ketika jabatan sudah digantikan orang lain, apa yang akan kita ingat?


Bukan angka di rekening bank. Bukan gelar atau posisi. Melainkan wajah-wajah yang kita cintai. Tawa yang kita bagi bersama. Pelukan yang tulus. Maaf yang terucap. Terima kasih yang dirasakan.


Itulah harta sejati. Harta yang tak bisa dicuri maling, tak dimakan inflasi, tak pudar dimakan zaman.


Maka hari ini, sekarang juga, mari kita ubah prioritas. Sisihkan waktu untuk orang terkasih. Jaga kepercayaan yang dipercayakan kepada kita. Berkomunikasilah dengan hati. Ucapkan maaf dan terima kasih tanpa ragu.


Sebab hidup ini pendek. Waktu terus berjalan. Dan kita tak pernah tahu kapan kesempatan terakhir itu datang.


Jangan sampai kita menjadi seperti penambang tua itu—menyadari terlambat bahwa emas yang kita cari sebenarnya selalu ada di genggaman kita. Tinggal kita yang terlalu buta untuk melihatnya.

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌࣖ ۝٢٨
Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar. (Q.S. Al-Anfal: 28)


Semoga kita termasuk orang-orang yang bijak mengenali harta sejati, sebelum ia hilang dari genggaman. []

Previous Post Next Post