Manusia memiliki
kecenderungan alami untuk menghindari rasa sakit. Ketika ujian datang
menghampiri, naluri pertama kita adalah menolak, melarikan diri, atau tenggelam
dalam penderitaan. Namun, ada sebuah rahasia yang tersembunyi di balik
mekanisme otak kita dan kebijaksanaan ajaran Islam: fokus kita menentukan
pengalaman kita. Ketika seseorang hanya memusatkan perhatian pada rasa
sakitnya, otak akan mengaktifkan jaringan neural yang memperkuat persepsi
penderitaan tersebut. Sebaliknya, ketika kita mengalihkan fokus pada pelajaran
yang terkandung di dalamnya, otak membuka jalur baru menuju pertumbuhan dan
pemahaman yang lebih dalam.
Dalam neurosains, konsep neuroplastisitas mengajarkan bahwa
otak kita terus membentuk dan membentuk ulang koneksi-koneksi sarafnya
berdasarkan pengalaman dan fokus perhatian kita. Penelitian yang dilakukan oleh
Draganski dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa pembelajaran aktif dan perhatian
yang terfokus dapat mengubah struktur fisik otak, khususnya di area yang
terkait dengan fungsi kognitif yang dilatih. Ini berarti, ketika kita memilih
untuk fokus pada hikmah di balik ujian, kita secara harfiah membentuk ulang
arsitektur neural kita menuju pola pikir yang lebih adaptif dan berkembang.
Al-Quran telah mengingatkan kita jauh sebelum neurosains
modern berkembang: "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Baqarah: 216).
Ayat ini mengajarkan bahwa perspektif kita yang terbatas sering kali
menghalangi kita untuk melihat kebijaksanaan yang tersembunyi. Rasa sakit yang
kita rasakan hari ini mungkin adalah gerbang menuju kekuatan yang kita butuhkan
untuk hari esok.
Sistem saraf manusia dirancang dengan kemampuan luar biasa
yang disebut selective attention atau perhatian selektif. Korteks prefrontal,
bagian otak yang bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan dan regulasi
emosi, memiliki peran krusial dalam menentukan apa yang kita proses dari
lingkungan kita. Penelitian dari Ochsner dan Gross tentang regulasi emosi
kognitif menunjukkan bahwa reappraisal atau pemaknaan ulang terhadap situasi
yang menyakitkan dapat secara signifikan mengurangi aktivitas amigdala, pusat
pemrosesan emosi negatif di otak. Dengan kata lain, cara kita membingkai
pengalaman menyakitkan kita secara neurologis mengubah bagaimana otak kita
merespons pengalaman tersebut.
Ketika seseorang terjebak dalam siklus fokus pada rasa
sakit, otak menciptakan apa yang disebut rumination loops atau putaran
perenungan negatif. Kondisi ini melibatkan aktivasi berlebihan pada default
mode network, jaringan otak yang aktif saat kita tidak fokus pada tugas
eksternal dan cenderung memikirkan diri sendiri. Studi neuroimaging menunjukkan
bahwa ruminasi kronis terkait dengan peningkatan aktivitas di region otak yang
memproses pengalaman negatif, yang pada gilirannya memperkuat perasaan terperangkap
dalam penderitaan. Inilah mengapa seseorang yang terus memikirkan lukanya akan
merasa bahwa lukanya semakin membesar, bahkan ketika secara objektif situasinya
tidak berubah.
Sebaliknya, dalam tradisi Islam, konsep sabar dan tafakkur
atau refleksi mendalam mengajarkan kita untuk keluar dari siklus penderitaan
ini. Rasulullah SAW bersabda: "Menakjubkan urusan orang mukmin,
sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Jika mendapat kegembiraan, ia
bersyukur dan itu baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, ia bersabar dan itu
baik baginya" (HR. Muslim). Hadis ini mengandung prinsip neurosains yang
mendalam: kemampuan untuk mereframing atau membingkai ulang pengalaman adalah
kunci kesehatan mental dan pertumbuhan spiritual.
Ketika seseorang mengubah fokusnya dari rasa sakit menuju
pelajaran, terjadi pergeseran aktivitas otak dari sistem limbik yang reaktif
menuju korteks prefrontal yang reflektif. Area otak ini memungkinkan kita untuk
melakukan metacognition atau berpikir tentang cara kita berpikir. Dengan
kemampuan ini, kita dapat mengamati penderitaan kita dengan jarak yang sehat,
tidak larut di dalamnya, namun juga tidak menyangkalnya. Ini adalah
keseimbangan yang diajarkan Islam melalui konsep tawazun, keseimbangan antara mengakui
realitas ujian sambil tetap optimis tentang kebijaksanaan yang dikandungnya.
Pembelajaran dari ujian melibatkan proses konsolidasi memori
yang kompleks di hippocampus dan korteks prefrontal. Penelitian menunjukkan
bahwa pengalaman yang secara emosional signifikan, termasuk yang menyakitkan,
cenderung lebih kuat tersimpan dalam memori jangka panjang. Namun, kualitas
pembelajaran dari pengalaman tersebut sangat bergantung pada bagaimana kita
memprosesnya. Jika kita memproses dengan fokus pada viktimisasi, kita menyimpan
narasi kekalahan. Jika kita memproses dengan fokus pada growth atau
pertumbuhan, kita menyimpan narasi resiliensi dan kebijaksanaan.
Konsep hikmah dalam Islam memiliki dimensi yang kaya. Hikmah
bukan sekadar pengetahuan kognitif, tetapi pemahaman mendalam yang
mengintegrasikan pengetahuan dengan kebijaksanaan praktis dan kedekatan
spiritual kepada Allah. Dalam konteks neurosains, ini dapat dipahami sebagai
integrasi antara pemrosesan kognitif di neokorteks dengan pemrosesan emosional
di sistem limbik dan kesadaran spiritual yang melibatkan seluruh sistem saraf.
Orang yang mencapai hikmah adalah orang yang otaknya telah mengintegrasikan pelajaran
pada level yang paling dalam.
Allah SWT berfirman: "Dia memberikan hikmah kepada
siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi
kebaikan yang banyak" (QS. Al-Baqarah: 269). Pemberian hikmah ini bukanlah
proses yang arbiter atau sewenang-wenang, melainkan terkait erat dengan
kesediaan seseorang untuk belajar dari ujian yang diberikan. Neurosains
mengkonfirmasi bahwa otak yang terus belajar dan beradaptasi adalah otak yang
tetap sehat dan berkembang. Proses pembelajaran dari adversity atau kesulitan
khususnya memperkuat apa yang disebut stress-related growth atau pertumbuhan
terkait stres, fenomena di mana individu menjadi lebih kuat dan bijaksana
setelah melewati pengalaman sulit.
Penelitian tentang post-traumatic growth atau pertumbuhan
pasca-trauma menunjukkan bahwa banyak individu yang mengalami peristiwa
traumatis melaporkan perubahan positif signifikan dalam hidup mereka, termasuk
peningkatan apresiasi terhadap hidup, hubungan interpersonal yang lebih dalam,
peningkatan kekuatan personal, dan spiritual yang lebih matang. Studi oleh
Tedeschi dan Calhoun mengidentifikasi bahwa kemampuan untuk menemukan makna
dalam penderitaan adalah prediktor utama dari pertumbuhan ini. Dalam perspektif
Islam, ini adalah manifestasi dari hikmah yang Allah janjikan bagi mereka yang
sabar dan mau belajar.
Perjalanan dari rasa sakit menuju hikmah bukanlah proses
yang instan atau mudah. Otak membutuhkan waktu untuk memproses,
mengintegrasikan, dan membentuk koneksi neural baru yang mendukung perspektif
yang lebih matang. Dalam tradisi Islam, ini tercermin dalam konsep muhasabah
atau introspeksi diri yang teratur, di mana seorang mukmin secara konsisten
merefleksikan pengalamannya untuk mengekstrak pelajaran. Praktik spiritual
seperti shalat tahajud, membaca Al-Quran dengan tadabbur, dan dzikir memberikan
momen-momen tenang di mana otak dapat keluar dari mode reaktif dan masuk ke
mode reflektif, memfasilitasi pembelajaran yang lebih dalam.
Allah telah membekali kita dengan otak yang luar biasa
plastis dan kapasitas spiritual yang mendalam. Ketika keduanya bekerja bersama,
ketika neurosains bertemu dengan iman, kita menemukan bahwa setiap ujian adalah
undangan untuk transformasi, dan setiap rasa sakit adalah pintu menuju hikmah. Mereka yang menerima undangan ini, yang memilih untuk belajar
dan berkembang, adalah mereka yang akan menemukan bahwa Allah tidak pernah
memberikan ujian tanpa menyediakan jalan menuju kebijaksanaan yang melampaui
penderitaan itu sendiri.
اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan" (Q.S. At-Thalaq: 7)
