Apakah Pemerintah Indonesia Sanggup Menggratiskan Pendidikan dari SD hingga SMA?


Putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan negara untuk menggratiskan pendidikan dasar hingga menengah adalah momen monumental dalam sejarah pendidikan Indonesia. Ia menjadi manifestasi dari amanat konstitusi, sekaligus ujian besar bagi pemerintah dalam hal daya sanggup fiskal, kelembagaan, dan sosial-politik. Namun pertanyaan yang patut diajukan secara jujur dan mendalam adalah: apakah pemerintah Indonesia benar-benar sanggup mewujudkan kebijakan ini secara berkelanjutan dan bermutu?


Secara nominal, jawabannya tampak menjanjikan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia mencapai lebih dari Rp 3.000 triliun pada 2024, dan alokasi minimal 20% untuk sektor pendidikan menunjukkan bahwa secara fiskal, ruang itu tersedia. Namun realitas di balik angka memerlukan kehati-hatian. Seperti diingatkan oleh Bank Dunia (2020), problem utama Indonesia bukan pada jumlah anggaran, melainkan efektivitas penggunaannya. Banyak dana yang tidak sampai ke kebutuhan inti: peningkatan mutu guru, perbaikan infrastruktur, atau digitalisasi pembelajaran.


Fiskal kita memang sanggup, tapi hanya jika efisiensi menjadi prinsip utama dalam perencanaan dan pelaksanaan. Ini berarti pemerintah harus lebih jeli memprioritaskan pembiayaan pada sektor esensial dan menghindari pemborosan struktural. Tanpa reformasi menyeluruh pada skema pembiayaan—terutama dalam penyaluran BOS dan PIP—anggaran besar bisa menjadi ilusi belaka.


Namun daya sanggup bukan hanya soal uang. Ia menyangkut kapasitas kelembagaan pemerintah pusat dan daerah untuk menjalankan kebijakan dengan tepat. Kementerian Pendidikan dan Kementerian Keuangan memang memiliki perangkat teknokratis yang mumpuni, tetapi implementasi kebijakan sering terhambat di level daerah. Banyak pemerintah kabupaten/kota belum memiliki sistem perencanaan pendidikan yang berbasis data kebutuhan aktual. Distribusi guru, misalnya, masih belum merata, bahkan banyak daerah terpencil yang mengalami kekurangan guru akut meski formasi sudah dibuka.


Masalah kelembagaan ini sering diperparah oleh lemahnya pengawasan. Penyaluran dana BOS yang semestinya sederhana justru terhambat oleh tumpang tindih regulasi, pelaporan manual, hingga intervensi birokrasi. Tanpa perbaikan tata kelola—termasuk sistem audit digital dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan—kebijakan pendidikan gratis bisa terjebak dalam rutinitas administratif yang membunuh semangat awalnya.


Di sisi politik, pendidikan gratis cenderung menjadi wacana yang populer dan banyak mendapat dukungan. Namun dukungan politik bersifat fluktuatif, tergantung pada siapa yang berkuasa. Kebijakan pendidikan sering kali mengalami “reset” setiap terjadi pergantian kepala daerah atau menteri, yang mengakibatkan program-program yang seharusnya bersifat jangka panjang menjadi tidak berkelanjutan. Ini mencerminkan belum adanya stabilitas politik pendidikan. Tanpa komitmen lintas partai dan lintas periode, kebijakan pendidikan gratis hanya akan menjadi instrumen kampanye, bukan kebijakan negara yang konsisten.


Aspek sosial pun memainkan peran penting. Secara umum, masyarakat Indonesia mendukung penuh pendidikan gratis. Namun partisipasi masyarakat dalam mengawasi dan menjaga kualitas pendidikan masih minim. Banyak warga yang menganggap pendidikan sebagai urusan negara semata, tanpa menyadari bahwa kualitas pendidikan juga dipengaruhi oleh keterlibatan aktif komunitas lokal. Di beberapa daerah, tantangan budaya dan geografis memperparah kondisi, terutama di wilayah 3T yang masih sulit dijangkau oleh infrastruktur dan tenaga pengajar.


Lalu, bagaimana seharusnya negara menjawab tantangan ini?

Pertama, pemerintah harus menata ulang prioritas penganggaran. Alih-alih menyebar dana ke terlalu banyak pos, fokus harus diberikan pada penguatan guru, pengembangan kurikulum kontekstual, serta infrastruktur dasar yang merata.


Kedua, peran pemerintah daerah perlu diperkuat melalui pelatihan teknis dan desentralisasi berbasis akuntabilitas. Pemerintah pusat dapat memberikan kerangka kerja dan pendanaan, sementara daerah harus diberi ruang berinovasi dan menyusun intervensi sesuai kebutuhan lokal.


Ketiga, sistem audit publik berbasis digital perlu diterapkan dalam penyaluran BOS dan PIP. Dengan demikian, penyaluran dana bisa dipantau secara real-time dan mencegah kebocoran anggaran.


Keempat, kemitraan dengan sektor swasta dan filantropi harus didorong. Dunia usaha, melalui program tanggung jawab sosial, bisa berkontribusi pada pembangunan sekolah, penyediaan beasiswa, dan pelatihan guru.


Kelima, dibutuhkan jaminan hukum agar kebijakan pendidikan gratis tidak bergantung pada kebijakan ad hoc. Undang-undang atau peraturan pemerintah yang bersifat mengikat perlu segera disusun untuk mengunci arah kebijakan agar tidak mudah berubah.


Yang tak kalah penting, pendidikan karakter dan partisipatif harus menjadi landasan. Kebijakan gratis harus bersanding dengan pembentukan nilai-nilai sosial yang kuat di lingkungan sekolah. Sekolah bukan hanya tempat belajar akademik, tetapi tempat menumbuhkan tanggung jawab, toleransi, dan semangat kebangsaan.


Maka menjawab pertanyaan di awal, apakah pemerintah Indonesia sanggup? Jawaban jujurnya: ya, pemerintah memiliki kapasitas dasar untuk mewujudkannya. Tetapi hal itu hanya akan tercapai bila ada keberanian politik, reformasi birokrasi, pengawasan masyarakat, dan keberpihakan anggaran yang jelas.


Tanpa itu semua, kebijakan pendidikan gratis bisa saja berjalan—tetapi bukan sebagai investasi masa depan bangsa, melainkan sekadar pemenuhan kewajiban administratif yang kehilangan ruhnya. []

Previous Post Next Post