Di tengah perubahan zaman yang kian cepat, pendidikan Indonesia menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan dan bermakna. Tema Hari Pendidikan Nasional 2025, “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”, menggugah kita bahwa transformasi pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk para pendidik. Dalam konteks ini, hadirnya teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI) dan pendekatan Pembelajaran Mendalam (Deep Learning) menjadi bagian penting dari ikhtiar membangun pendidikan yang cerdas dan berkarakter.
Transformasi pendidikan harus dimulai dari kualitas guru. Seperti dikatakan Barber dan Morshed (2007), “Kualitas sistem pendidikan tidak akan pernah melebihi kualitas gurunya.” Maka, inovasi berbasis teknologi hanya akan berdampak jika para guru siap secara kompetensi maupun visi dalam memanfaatkannya untuk mendidik generasi masa depan.
Untuk menjawab tantangan abad ke-21, kita tidak cukup hanya dengan penguasaan literasi dasar. Kita butuh Literacy 4.0 dalam rangka mewujudkan Society 5.0. Literasi ini mencakup lima pilar: human literacy, religious literacy, technological literacy, digital literacy, dan data literacy. Human literacy menekankan kemampuan kolaborasi, komunikasi, dan berpikir kritis. Religious literacy mengajarkan toleransi dan inklusivitas dalam keberagaman. Technological literacy menyiapkan siswa memahami dan memanfaatkan teknologi seperti AI dan coding. Digital literacy membekali siswa dengan kemampuan memilah informasi secara kritis, sedangkan data literacy mendorong analisis data besar untuk pengambilan keputusan.
Kecerdasan Buatan, atau Artificial Intelligence, adalah teknologi yang meniru cara manusia berpikir dan mengambil keputusan. AI dapat mengenali gambar, menganalisis data, menulis puisi, bahkan memprediksi pola perilaku. Dalam konteks pendidikan, AI bukan hanya alat bantu, tetapi juga peluang untuk meningkatkan efektivitas dan personalisasi pembelajaran. Amazon (2024) menyebut AI sebagai bentuk simulasi kecerdasan manusia yang semakin canggih dalam memahami konteks dan data.
Perkembangan AI mendorong perubahan kurikulum pendidikan. Transformasi kurikulum menjadi keniscayaan untuk menyisipkan elemen-elemen baru yang lebih adaptif terhadap era digital. AI menjadi bagian dari konten inovatif yang perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum agar pendidikan tidak tertinggal oleh zaman.
Dalam penerapan praktis di sekolah, AI dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk: mentor virtual yang membantu belajar mandiri, voice assistant untuk membantu memahami materi, konten cerdas yang menyesuaikan tingkat kemampuan siswa, hingga penerjemah presentasi untuk memudahkan komunikasi lintas bahasa. Bahkan, chatbot untuk konsultasi, asesmen otomatis, simulasi berbasis virtual reality, dan sistem rekomendasi pembelajaran berbasis analisis data pendidikan telah digunakan dalam berbagai skenario pendidikan modern (Kemdikbud, 2023).
Namun, penggunaan AI tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip etis dan budaya digital. Oleh karena itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (2021) menekankan pentingnya mengembangkan empat pilar dalam pendidikan digital: keterampilan digital, etika digital, budaya digital, dan keamanan digital. Keempatnya saling terkait dan membentuk karakter siswa dalam menyikapi teknologi secara bijak dan beradab.
Di balik hiruk-pikuk kemajuan teknologi, pendidikan harus tetap berakar pada nilai-nilai kemanusiaan. Inilah esensi dari pendekatan Deep Learning atau pembelajaran mendalam. Konsep ini menekankan pembelajaran yang holistik—tidak hanya mengasah olah pikir (intelektual), tetapi juga olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik). Tujuan akhirnya adalah menciptakan proses belajar yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan.
Landasan filosofis pembelajaran ini bersumber dari dua tokoh besar pendidikan Indonesia: K.H. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara. K.H. Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa pendidikan harus bertujuan luhur, tidak sombong, tuntas dalam berkarya, dan mengakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan agama. Sementara itu, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya pendidikan yang memerdekakan dan bersifat among—memanusiakan manusia lewat prinsip asah, asih, dan asuh serta pembelajaran yang menggembirakan layaknya taman.
Salah satu pilar dari pembelajaran mendalam adalah Meaningful Learning, sebagaimana dirumuskan David Ausubel (1963). Ia menyatakan bahwa pembelajaran akan bermakna bila siswa dapat mengaitkan pengetahuan baru dengan apa yang telah mereka ketahui sebelumnya. Artinya, pengajaran tidak boleh bersifat terputus-putus atau hanya berbasis hafalan, melainkan membangun struktur pengetahuan yang saling terhubung.
Selaras dengan itu, pendekatan Mindful Learning yang dikembangkan oleh Hassed dan Chambers (2015) menekankan pembelajaran yang didasari kesadaran, kasih sayang, keterbukaan, dan keingintahuan. Di dalamnya terdapat semangat pedagogi cinta (pedagogy of love) yang menurut UNESCO (2014), mampu melahirkan masyarakat yang lebih penuh kasih, adil, dan gembira. Pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga membentuk hati.
Model pembelajaran mendalam yang diusung mengarah pada lahirnya delapan Profil Pelajar Pancasila, yaitu: beriman dan bertakwa, berkewarganegaraan aktif, bernalar kritis, kreatif, kolaboratif, mandiri, sehat fisik dan mental, serta mampu berkomunikasi secara efektif. Pembelajaran di sekolah hendaknya diarahkan untuk membentuk profil ini secara utuh.
Dalam proses pembelajaran, penting untuk menggunakan taksonomi berpikir seperti Taksonomi SOLO dan Bloom. Dari yang paling dasar seperti mengingat (unistruktural) hingga ke tingkat tertinggi seperti mencipta dan merefleksi (extended abstract), pembelajaran harus membimbing siswa naik ke jenjang berpikir yang lebih tinggi. Inilah fondasi dari pengalaman belajar pembelajaran mendalam.
Agar transformasi ini berhasil, empat komponen kurikulum harus dikembangkan secara harmonis: (1) tujuan pembelajaran yang berorientasi pada profil lulusan dan kompetensi esensial, (2) konten yang mendukung 4C+3C (critical thinking, creativity, collaboration, communication + compassion, citizenship, character), (3) sistem penyampaian yang fleksibel dan adaptif, serta (4) asesmen yang mencakup formatif, sumatif, dan berbasis portofolio.
Dalam Kurikulum Merdeka, struktur program terdiri atas intra kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra kurikuler. Implementasi AI dan pembelajaran mendalam dapat terintegrasi dalam ketiganya. AI tidak hanya menjadi materi dalam pelajaran TIK, tetapi menjadi pendekatan dalam semua proses belajar.
Pendidikan yang ramah anak dan berbasis pembelajaran mendalam perlu memadukan technological touch dengan human touch. Pendidikan harus tetap membumi dalam cinta, empati, dan karakter, meskipun terbang tinggi bersama teknologi. AI tidak menggantikan peran guru, tetapi menjadi perpanjangan tangan untuk memperkuat pembelajaran yang bermakna dan berkesadaran.
Visi pendidikan menuju Sekolah 4.0 bukanlah soal digitalisasi semata. Ini tentang membangun sistem pendidikan yang seimbang antara logika dan rasa, teknologi dan spiritualitas, sains dan kemanusiaan. AI dan deep learning bukan tujuan akhir, melainkan jalan untuk membentuk SDM Indonesia yang unggul, cerdas, beriman, dan bermartabat.
