"Ikhlas merupakan rahasia antara Allah dan hamba, tidak diketahui oleh malaikat untuk ditulis, tidak diketahui oleh setan untuk dirusak, dan tidak pula diketahui oleh hawa nafsu untuk dipalingkan."
— Al-Junaid bin Muhammad, Madarijus Salikin, Jilid 2 hlm. 92
Di suatu sudut negeri yang jarang tersorot kamera, yang jalannya belum tentu bisa dilalui kendaraan setiap musim, seorang guru honorer duduk di ruang kelas berdinding bambu. Suaranya serak karena hari itu ia harus mengajar tiga mata pelajaran tanpa jeda. Gajinya tidak sampai setara uang jajan anak kota, tapi ia tetap datang. Setiap hari.
Saya adalah satu dari mereka.
Kami adalah mereka yang memilih bertahan di tengah keterbatasan. Kami bukan hanya mengajar huruf dan angka, tapi menanam harapan di tanah-tanah yang jauh dari sorotan. Tidak ada panggung, tidak ada pujian, tidak pula jaminan hari tua. Tapi kami tetap berjalan. Apa yang membuat kami terus melangkah?
Ikhlas.
Ikhlas, bagi kami, bukan sekadar kata mutiara. Ia adalah napas yang menopang perjuangan kami hari demi hari. Ia adalah pelita ketika malam terasa terlalu panjang, ketika janji-janji tinggal gema, dan ketika kelelahan mencoba meruntuhkan makna pengabdian. Kami bekerja bukan karena gaji yang layak—karena kenyataannya, seringkali tidak layak. Kami hadir bukan karena kamera dan tepuk tangan, tapi karena kami percaya bahwa setiap anak Indonesia berhak mendapatkan cahaya ilmu, di manapun mereka lahir.
Di kota, mungkin ikhlas adalah pilihan. Di sini, ikhlas adalah kebutuhan. Kami harus ikhlas untuk tetap waras. Kami harus ikhlas agar tak tumbang oleh kenyataan yang keras.
Namun, jangan salah. Ikhlas bukan berarti menyerah. Ikhlas adalah kekuatan yang tak terlihat. Ia tidak bisa ditulis oleh malaikat, dirusak oleh setan, atau dipalingkan oleh hawa nafsu. Seperti kata Al-Junaid, ia adalah rahasia terdalam antara hamba dan Tuhannya. Maka dari itu, meski tak selalu terlihat, kami tahu: Allah melihat.
Ketika kami berjalan kaki menyeberangi sungai agar sampai ke sekolah, ketika kami membuat alat peraga dari barang bekas karena tak ada anggaran, ketika kami menahan lapar agar bisa membeli kapur tulis—itu semua mungkin tidak masuk berita. Tapi kami yakin, ia tercatat dalam kitab yang lebih tinggi nilainya dari gaji manapun.
Kami tidak butuh dikasihani. Kami hanya ingin dihargai.
Esai ini bukan ratapan. Ini adalah pengingat bahwa negeri ini dibangun bukan hanya oleh mereka yang bekerja di balik meja kekuasaan, tapi juga oleh tangan-tangan kecil yang menulis huruf pertama di papan tulis reyot di pedalaman. Kami tidak meminta banyak. Hanya satu: jangan biarkan keikhlasan ini terus diuji tanpa batas.
Sebab meski ikhlas adalah rahasia terkuat, setiap rahasia pun punya batas daya. Di balik setiap anak yang belajar membaca di pelosok, ada seorang guru yang bertahan bukan karena digaji, tapi karena mencintai. Jangan biarkan cinta itu dibiarkan sepi.
Untuk para guru di ujung negeri—ikhlas kalian adalah cahaya yang menyinari Indonesia dari pinggiran. []
