Sebagai seorang guru, tugas kami tak hanya mendidik dengan kurikulum dan nilai rapor. Tugas kami lebih dalam daripada sekadar menyampaikan materi—yakni menanamkan nilai, membentuk jiwa, dan membangunkan kesadaran. Di tengah arus zaman yang sibuk mengejar prestasi duniawi, saya menemukan pelajaran luar biasa dari sebuah lirik nasyid Malaysia berjudul “Balaklava.” Bukan sekadar lagu, tapi renungan spiritual yang layak kita hadirkan dalam ruang-ruang kelas dan hati para murid.
“Balaklava,” simbol semutar hitam yang menutupi wajah, mungkin bagi sebagian tampak misterius atau bahkan menakutkan. Namun bagi saya, ia adalah lambang keikhlasan. Sebuah pengingat bahwa kebaikan dan perjuangan sejati tidak perlu selalu dikenal orang. Ada murid-murid yang menangis dalam sujudnya, yang berjaga di malam hari untuk sholat tahajud, dan tidak pernah mereka ceritakan pada siapa pun. Mereka inilah yang disabdakan Rasulullah, bahwa dua mata yang menangis karena Allah dan berjaga di malam ribath tidak akan disentuh oleh api neraka.
Nasyid ini menyadarkan saya bahwa pendidikan bukan hanya soal mengisi kepala, tapi juga menumbuhkan hati. Sungguh, betapa penting mengajarkan wudhu yang sempurna—bukan hanya secara teknis, tetapi sebagai simbol kesiapan menyucikan diri sebelum menghadap Ilahi. Sungguh mendalam ketika seorang siswa setia menunggu sholat, bukan karena takut pada absen guru agama, tapi karena cinta pada Allah. Setiap langkahnya menuju masjid atau surau adalah bagian dari perjalanan spiritual, yang kelak akan menjadi fondasi ketangguhan hidup.
"Segitiga merah", "arah Bersheba", "dari sungai ke laut"—ini semua mungkin metafora dari perjuangan. Namun, sebagai guru, saya membacanya sebagai perjalanan menuju kemerdekaan jiwa. Kita ingin murid-murid kita bebas, bukan hanya dari penjajahan fisik, tapi dari kejumudan pikiran, kebodohan, dan belenggu nafsu. Kita ingin mereka kembali kepada fitrah: bebas, aman, dan merdeka secara ruhani.
Dalam bait lain, disebutlah seorang Sheikh—pemimpin ruhani yang menebar haruman nilai dan menyalakan semangat generasi. Sebagai guru, saya berkaca. Apakah saya telah menjadi sosok itu? Sudahkah saya menyampaikan pelajaran dengan aura cinta dan semangat yang menyala? Sudahkah perkataan saya menggetarkan, bukan karena kerasnya suara, tetapi karena kedalaman makna?
Zahra dan Ashbaal dalam nasyid ini menggambarkan generasi penerus—para pemuda dan pemudi yang telah disemai dengan nilai-nilai perjuangan. Mereka belajar bukan untuk sekadar lulus ujian, tapi untuk hidup dalam nilai. Di malam-malam Ribath, mereka tak bermain gawai atau tenggelam dalam scroll media sosial tanpa arah. Mereka berjuang—dalam diam, dalam sujud, dalam disiplin harian. Bukankah inilah harapan tertinggi kita sebagai guru?
Saat saya mendengar bagian "ain bakat" dan "ain batat"—mata yang menangis dan mata yang berjaga—saya terbayang siswa-siswa yang diam-diam sedang menapaki jalan spiritual. Mungkin tidak semua siswa memahami makna ini sekarang. Tapi tugas kita sebagai guru adalah menanamkan. Barangkali bukan kita yang akan memanen, tapi generasi setelah kita.
Kalimat "tiada operasi yang terlalu sukar, tiada pengorbanan yang terlalu besar" menjadi prinsip pendidikan sejati. Jalan mendidik bukanlah jalan mudah. Membentuk karakter bukan seperti mencetak kue. Ada air mata, ada kesabaran, ada pengorbanan yang tak terlihat oleh manajemen sekolah atau data statistik. Tapi begitulah jalan yang ditempuh dengan cinta.
Sebagai guru, saya menyadari bahwa tak boleh ada "ungkitan itu ini" dalam kerja mendidik. Jangan menagih, jangan menghitung. Hanya jalankan, karena umum akan menyadari ketika generasi ini tumbuh sebagai pemuda-pemudi tangguh yang tidak mudah goyah.
Balaklava bisa jadi hanya sepotong kain. Tapi dalam konteks pendidikan, ia menjadi simbol ketulusan, keberanian, dan komitmen. Murid-murid yang tumbuh dengan nilai-nilai dalam nasyid ini, insyaAllah akan menjadi generasi yang siap menjaga agama, membela kebenaran, dan memikul amanah umat.
Sebagai guru, saya ingin mengatakan: mari hadirkan ruh Balaklava dalam setiap proses belajar mengajar. Bukan dengan militansi yang keras, tapi dengan kelembutan, kedalaman, dan keteladanan. Tanamkan cinta kepada Allah, ajarkan sholat dengan keindahan, dan bimbing mereka untuk menangis dalam doa, bukan karena kecewa pada dunia, tapi karena rindu pada Tuhannya.
Jika ada murid yang tumbuh dengan jiwa seperti itu, maka tugas kita telah sampai pada inti: mendidik manusia, bukan hanya mencetak lulusan. []
