Ketika Wahyu dan Sains Berbeda: Pandangan Guru tentang Asal Usul Manusia

 


Suatu hari, di kelas, saya pernah ditanya seorang murid, “Pak, katanya manusia pertama itu Nabi Adam. Tapi di buku sains dijelaskan manusia berasal dari evolusi. Jadi yang benar yang mana, Pak?”


Pertanyaan itu membuat saya terdiam sejenak. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya, tetapi karena saya ingin memberi penjelasan yang bisa benar-benar dipahami, bukan sekadar teori kaku yang membuat anak-anak malah makin bingung.


Sebagai seorang guru, saya merasa penting untuk menjelaskan bahwa "kebenaran" itu punya tempat dan cara uji yang berbeda, tergantung dari mana kita melihatnya.


Apa Itu Kebenaran?

Kalau kita bicara dari sudut pandang wahyu, kebenaran itu datang langsung dari Allah. Standarnya adalah Al-Qur’an dan hadis yang sahih, dijelaskan oleh para ulama yang memang ahli. Contohnya, dalam Islam kita percaya bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama yang diciptakan langsung oleh Allah dari tanah.


Sementara sains punya cara sendiri. Kebenaran versi sains harus bisa diobservasi, diuji, diverifikasi, dan dibuktikan dengan data yang nyata. Sains menjelaskan, misalnya, bahwa manusia modern muncul sekitar 300.000 tahun lalu, berdasarkan fosil dan penelitian genetik.


Ketika Dua Pendekatan Ini Bertemu

Lalu, bagaimana jika sains dan wahyu tampak bertentangan? Di sinilah kita harus hati-hati. Sebagai seorang muslim, saya mengajarkan kepada murid-murid saya bahwa wahyu adalah sumber kebenaran mutlak, karena datang dari Allah Yang Maha Mengetahui. Sains, meskipun bermanfaat dan penting, tetaplah hasil usaha manusia yang terbatas dan bisa keliru.

Contoh paling jelas: Al-Qur’an menyebutkan Nabi Adam sebagai manusia pertama. Kalau sains berkata manusia berasal dari evolusi hominid, maka kita tetap berpegang pada wahyu. Bukan berarti kita menolak sains sepenuhnya, tetapi kita sadar bahwa sains tidak mampu menjangkau hal-hal yang bersifat gaib atau metafisik.


Kalau Tidak Sepenuhnya Bertentangan?

Kadang, sains tidak benar-benar bertentangan dengan wahyu, hanya berbeda cara pandang. Dalam kasus seperti ini, saya suka mengajak murid-murid untuk memikirkan tiga cara menyikapinya:


Mengharmonikan (Taufiq):

Banyak ulama mencoba menyatukan keduanya. Misalnya, evolusi bisa berlaku untuk makhluk lain, sedangkan penciptaan Nabi Adam adalah pengecualian, sebuah mukjizat.


Menyerahkan kepada Allah (Tafwidh):

Kalau ada sesuatu yang sulit dipahami, kita serahkan kepada Allah. Kita tidak memaksakan akal kita, karena akal manusia punya batas.


Membagi wilayah (Tajzi’iyyah):

Kita pisahkan ranahnya. Wahyu menjawab pertanyaan tentang makna, tujuan, dan asal penciptaan. Sains menjawab bagaimana alam ini bekerja secara teknis.


Menentukan Standar Kebenaran

Saya selalu bilang ke murid-murid, “Kalau kalian mau tahu siapa manusia pertama, itu wilayah wahyu. Tapi kalau kalian mau tahu struktur DNA manusia, itu wilayah sains.”


Begitu juga soal ruh, jawabannya hanya ada di wahyu. Namun, kalau pertanyaannya bagaimana otak memproses bahasa, itu jawabannya bisa dijawab sains lewat riset neurosains.


Sebagai guru, saya percaya sains dan wahyu tidak harus saling meniadakan. Justru keduanya bisa saling melengkapi dan membuat kita semakin kagum pada kebesaran Allah.


Kalau suatu hari ada murid saya yang kembali bertanya, “Pak, kenapa kita harus tetap percaya wahyu?” Maka saya akan menjawab, “Karena yang datang dari Allah pasti benar, sementara yang datang dari manusia, walaupun hebat, tetap bisa salah.”

Wallahu Ta’ala A’lam.

Previous Post Next Post