Pernahkah kamu bertanya-tanya, bagaimana sih para ulama di masa lalu bisa
dengan yakin mengatakan, "Ini pendapat Sahabat A," atau "Para
tabiin sepakat soal masalah ini"? Padahal kan mereka hidup berabad-abad
setelah zaman sahabat. Apa mereka punya mesin waktu?
Tanpa Google, Wikipedia, atau teknologi modern apa pun, para ulama klasik
berhasil menjadi "detektif ilmu" yang luar biasa. Mereka mampu
melacak jejak pendapat sahabat dan tabiin dengan akurasi tinggi, membangun
database analog yang tersimpan rapi dalam ingatan dan catatan, serta
menciptakan sistem transmisi ilmu yang tidak pernah terputus dari Madinah
hingga masa kini. Bagaimana mungkin mereka bisa memverifikasi dan menjaga
warisan ilmu berabad-abad tanpa teknologi?
Apa rahasia di balik kemampuan
mereka yang menakjubkan ini? Ternyata, mereka punya sistem yang jauh lebih
canggih dari yang kita bayangkan—sebuah jaringan ilmu yang dibangun dengan
dedikasi tinggi, metode penelitian yang ketat, dan komitmen menjaga setiap mata
rantai pengetahuan. Pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana para ulama di masa
lalu bisa dengan yakin mengatakan, "Ini pendapat Sahabat A," atau
"Para tabiin sepakat soal masalah ini"? Mari kita bongkar
misteri ini bersama-sama.
Bayangkan dunia Islam pada masa awal—tidak seperti sekarang yang tersebar
dari Indonesia sampai Maroko. Saat itu, pusat-pusat pembelajaran Islam masih
bisa dihitung dengan jari: Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, dan Syam. Ya, hanya
segitu!
Kondisi ini justru menjadi keuntungan tersendiri. Seperti komunitas kecil
di mana semua orang saling kenal, para ulama waktu itu mudah melacak siapa
mengajar apa dan di mana. Kalau sekarang kita bingung mencari asal-usul sebuah
quote viral di media sosial, dulu mereka tinggal bertanya ke tetangga kota
sebelah. Sederhana, kan?
Warisan Ilmu yang Dijaga Ketat
Para tabiin—generasi setelah sahabat—punya dedikasi yang luar biasa
terhadap ilmu. Mereka tidak sekadar mendengarkan fatwa atau pendapat para
sahabat, tetapi mencatat dan menghafalnya dengan serius. Bayangkan mereka
seperti mahasiswa teladan yang tidak pernah bolos kuliah dan selalu mencatat
setiap kata dosen.
Begitu juga generasi setelah tabiin, yang disebut atba'ut-tabiin.
Mereka melanjutkan tradisi ini dengan mencatat ilmu dari para guru mereka.
Jadi, ada semacam "rantai emas" transmisi ilmu yang tidak terputus.
Setiap mata rantai dijaga dengan ketat, sehingga warisan ilmunya jelas, runtut,
dan bisa dipertanggungjawabkan.
Penelitian Sudah Dilakukan, Kita Tinggal Menerima Hasilnya
Zaman sekarang, ada kecenderungan untuk mempertanyakan segalanya dengan
dalih "harus diverifikasi dulu." Memang bagus sikap kritis seperti
itu, tapi tahukah kamu bahwa penelitian dan verifikasi itu sudah dilakukan oleh
para ulama besar sejak berabad-abad yang lalu?
Mereka sudah menghabiskan hidup mereka untuk menelusuri sumber-sumber ilmu,
mengecek keabsahan riwayat, dan memastikan akurasi setiap informasi. Jadi,
ketika kita membaca hasil kerja mereka, kita sebenarnya sedang membaca laporan
penelitian yang sudah melewati quality control berkali-kali. Kita tinggal
memahami dan menerapkan hasilnya.
Ijma': Bukan Klaim Asal-asalan
Kalau ada ulama besar yang mengatakan terjadi ijma' (kesepakatan
para ulama) tentang suatu masalah, jangan langsung berpikir itu klaim
sembarangan. Pernyataan seperti itu lahir dari pengamatan mendalam terhadap
seluruh pusat ilmu dan tokoh agama di masa sebelumnya.
Mereka tidak main tebak-tebakan. Sebelum menyatakan ada ijma', mereka sudah
survey ke semua "kampus" Islam yang ada, mengecek pendapat setiap
"profesor" di zamannya. Kalau memang semua sepakat, baru mereka
berani bilang ada ijma'. Kalau masih ada yang beda pendapat, mereka akan jujur
menyebutkan adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat).
Ibadah Harian: Sudah Ada "Database"-nya
Masalah ibadah sehari-hari seperti shalat, puasa, wudhu, zakat, dan
haji—semua ini sudah punya "database" lengkap sejak zaman sahabat.
Setiap detail, mulai dari yang paling sepele sampai yang rumit, sudah dibahas
tuntas oleh generasi awal Islam.
Apakah semua ulama sepakat tentang cara wudhu? Atau ada perbedaan pendapat
tentang waktu berbuka puasa? Semua pertanyaan seperti ini sudah mendapat
jawaban dari para pendahulu kita. Mereka sudah melakukan "riset
lapangan" dengan mengamati langsung praktik para sahabat dan mencatat
setiap variasi yang ada.
Jadi, ketika kita sekarang belajar fiqih ibadah, kita sebenarnya sedang
mengakses hasil penelitian yang sudah berlangsung berabad-abad. Tinggal pilih:
mau ikut pendapat mayoritas atau pendapat minoritas yang juga punya dasar kuat.
Praktis tapi Tidak Sembarangan
Dalam urusan ibadah murni (ubudiyah mahdhah), hidup kita jadi lebih
praktis. Kita tidak perlu pusing mencari tahu sendiri dari nol—cukup pilih
salah satu pendapat ulama yang sudah teruji. Yang penting, kita paham bahwa
setiap pilihan punya konsekuensi dan tanggung jawab.
Tapi ingat, ini khusus untuk masalah ibadah murni ya. Kalau soal kebijakan
sosial, ekonomi, atau politik, konteksnya bisa berbeda karena zaman dan kondisi
berubah. Di situlah kita perlu ijtihad baru yang sesuai dengan tantangan masa
kini.
Mengapa Ini Penting untuk Dipahami?
Memahami proses ini penting agar kita tidak terjebak dalam dua ekstrem.
Pertama, skeptisisme berlebihan yang menolak semua warisan ulama dengan dalih
"belum diverifikasi." Kedua, taklid buta yang menerima segalanya
tanpa pemahaman.
Yang benar adalah mengambil jalan tengah: menghargai kerja keras para
pendahulu sambil tetap memahami konteks dan relevansinya dengan zaman sekarang.
Mereka sudah memberikan pondasi yang kokoh, tugas kita adalah membangun di
atasnya dengan bijak.
Jadi, kalau ada yang bertanya bagaimana ulama dulu bisa tahu pendapat
sahabat dan tabiin, jawabannya sederhana: mereka punya sistem transmisi ilmu
yang luar biasa, dedikasi tinggi, dan metode penelitian yang ketat. Hasilnya?
Warisan ilmu yang bisa kita andalkan hingga hari ini.
Kalau kamu tertarik menggali lebih dalam tentang metodologi para ulama
dalam melacak dan memverifikasi ilmu, coba pelajari kitab I'lamul Muwaqqi'in
karya Ibnul Qayyim. Di sana dijelaskan secara detail bagaimana para ulama
meneliti, memahami, dan menyampaikan hukum dari generasi ke generasi. Siapa
tahu kamu jadi terinspirasi untuk melanjutkan tradisi keilmuan yang luar biasa
ini!
