Bayangkan sejenak: kamu sedang scrolling Instagram, melihat teman-teman memamerkan pencapaian mereka. Ada yang dapat beasiswa ke luar negeri, ada yang mencapai keberhasilan di bisnis dan karirnya, ada yang viral karena prestasi dan reputasinya. Tanpa sadar, dalam hatimu muncul dua perasaan sekaligus—kagum tapi juga... merasa lebih baik dari mereka yang "biasa-biasa saja".
Nah, di sinilah letak bahayanya. Tanpa kita sadari, benih kesombongan sudah mulai tumbuh dalam jiwa kita.
Allah Ta'ala mengingatkan kita dalam Al-Qur'an:
"Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman:18)
Ayat ini bukan sekadar peringatan biasa. Ini adalah "sistem peringatan dini" untuk jiwa kita. Dalam bahasa psikologi modern, kesombongan adalah bentuk defense mechanism—cara pikiran kita melindungi ego dari rasa tidak aman. Tapi ironisnya, justru ego inilah yang akhirnya menghancurkan kita.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tegas mengatakan: "Maukah kamu aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur (sombong)."
Keras, kasar, tamak, rakus, takabbur—lima sifat ini seperti virus yang menginfeksi jiwa. Dan yang paling berbahaya adalah takabbur, karena dari sinilah semua dimulai.
Ingat kisah Iblis? Dia bukan makhluk bodoh. Dia punya pengetahuan, punya pengalaman ribuan tahun beribadah. Tapi satu sifat menghancurkan semuanya: ujub dan kesombongan.
"Aku lebih baik darinya," kata Iblis ketika diminta sujud kepada Adam.
Kalimat singkat itu mengubah malaikat menjadi setan. Kalimat yang sama—dengan berbagai variasi—masih sering terdengar hari ini:
"Aku lebih pintar dari dia..."
"Keluargaku lebih mampu..."
"Aku lebih shaleh dari mereka..."
"Aku lebih berprestasi..."
Setiap kali kita membandingkan diri dengan mindset superioritas, kita sedang mengulang kesalahan Iblis.
Ini yang menarik: dalam spiritualitas Islam, ada paradoks yang begitu indah sekaligus menohok. Mereka yang pernah berbuat salah, lalu bertaubat dengan ikhlas, justru lebih mulia di mata Allah ketimbang orang yang rajin ibadah tapi hatinya dipenuhi rasa superior.
Kenapa begitu?
Karena orang yang bertaubat memahami kelemahannya. Mereka rendah hati. Mereka tahu bahwa tanpa rahmat Allah, mereka bukan siapa-siapa. Sementara orang yang merasa "bersih" sering lupa bahwa semua kebaikan mereka adalah karunia, bukan hasil kerja keras semata.
Dalam konteks psikologi, ini disebut "growth mindset" versus "fixed mindset". Orang yang bertaubat memiliki growth mindset—mereka percaya bahwa manusia bisa berubah dan berkembang. Sementara orang yang sombong terjebak dalam fixed mindset—mereka percaya bahwa mereka sudah "sampai" dan lebih baik dari yang lain.
Di era media sosial ini, kesombongan punya panggung yang lebih luas. Kita berlomba memamerkan hidup "sempurna" kita. Filter, caption motivasi, humble bragging—semua jadi alat untuk menegaskan superioritas kita.
Tapi tahukah kamu? Semakin keras kita berusaha membuktikan kehebatan kita, semakin jelas sebenarnya kita sedang menutupi insecurity di dalam diri.
Rasulullah saw mengajarkan prinsip sederhana tapi revolusioner: fokus pada hubungan vertikal dengan Allah, bukan horizontal dengan manusia. Ketika fokus utama kita adalah meraih ridha Allah, semua drama perbandingan dengan sesama manusia jadi tidak relevan.
Bagaimana caranya keluar dari jebakan kesombongan?
Pertama, kenali dirimu yang sebenarnya. Dalam neuro-hypnotherapy, ada teknik bernama "self-awareness meditation" di mana kita diajak untuk jujur mengakui kelebihan dan kekurangan kita tanpa judgment. Islam mengajarkan hal yang sama: muhasabah.
Kedua, praktikkan gratitude. Setiap pencapaian yang kamu raih, ingatlah bahwa itu adalah karunia. Otak yang sehat, keluarga yang mendukung, kesempatan yang terbuka—semuanya bukan hasil usahamu semata.
Ketiga, fokus pada tujuan utama. Hidup ini bukan kompetisi dengan manusia lain, tapi journey menuju Allah. Ketika fokus kita sudah benar, semua hal lain akan mengikuti.
Keempat, terima dengan ridha. Ridha bukan berarti pasrah tidak berbuat apa-apa. Ridha adalah acceptance yang aktif—menerima keadaan sambil tetap berusaha dengan ikhlas.
Generasi muda hari ini hidup dalam tekanan yang luar biasa. Tuntutan untuk sukses, ekspektasi keluarga, kompetisi dengan peers—semua ini bisa memicu kesombongan sebagai mekanisme pertahanan.
Tapi ingat, kesombongan adalah ilusi. Seperti narkoba, dia memberi euphoria sesaat tapi merusak jiwa dalam jangka panjang.
Yang kamu butuhkan bukanlah merasa lebih baik dari orang lain, tapi menjadi versi terbaik dari dirimu sendiri. Bukan untuk pamer, tapi untuk ibadah. Bukan untuk mengalahkan orang lain, tapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ketika kamu berhasil melepaskan diri dari jebakan kesombongan, kamu akan merasakan kedamaian yang tak ternilai. Kedamaian yang datang dari hati yang bersih, jiwa yang tenang, dan hubungan yang harmonis dengan Sang Pencipta.
Dan itulah sejatinya tujuan hidup kita: bukan menjadi yang terhebat di mata manusia, tapi menjadi yang paling dicintai Allah.
Wallahu a'lam bishawab.
