Ketaqwaan dan Komunikasi Orangtua Sangat Mempengaruhi Arah Nasib Keturunan Anak-anaknya

 


Setiap orangtua, pada dasarnya, menyimpan sebuah kegelisahan yang sama: bagaimana nasib anak-anak kita ketika kita sudah tidak ada di sisi mereka? Pertanyaan itu sering muncul saat kita menyaksikan anak-anak masih kecil, rapuh, dan sangat bergantung pada kita. Ketakutan terbesar bukan hanya tentang apakah mereka akan memiliki rumah, harta, atau pekerjaan, melainkan apakah mereka akan menjadi pribadi yang kuat, berakhlak, dan mampu berdiri tegak menghadapi kehidupan.


Al-Qur’an menangkap kegelisahan itu dalam sebuah ayat yang sangat indah dan mendalam, Q.S. An-Nisā’ ayat 9. Allah berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan di belakang mereka keturunan yang lemah yang mereka khawatirkan nasibnya. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar.”


Di sini, Allah mengaitkan tiga hal penting: rasa takut akan meninggalkan anak-anak yang lemah, ketakwaan kepada-Nya, dan ucapan yang benar. Tiga hal ini tampak sederhana, tetapi jika kita renungkan dengan hati yang jernih, sebenarnya menjadi pondasi besar dalam membangun nasib generasi.


Rasa takut yang dimaksud bukanlah takut yang membuat kita putus asa atau cemas berlebihan, melainkan sebuah kesadaran empatik. Allah mengajak kita untuk berimajinasi: andaikan suatu hari kita meninggal dunia, lalu anak-anak kita hidup sendirian dalam keadaan lemah, bagaimana perasaan kita? Bayangan ini adalah bentuk pendidikan moral dari Allah, agar kita menumbuhkan empati terhadap anak yatim, kaum lemah, dan generasi yang belum berdaya. Dengan kata lain, Allah sedang mengajarkan agar kita tidak hanya peduli kepada anak kita sendiri, tetapi juga kepada anak-anak orang lain yang mungkin mengalami nasib serupa.


Dari rasa empati inilah lahir taqwa. Menurut para ulama, taqwa adalah kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa hadir dan mengawasi setiap gerak langkah kita. Ketika seorang ayah atau ibu merasakan getaran hati memikirkan nasib anaknya setelah ia tiada, maka getaran itu seharusnya mengingatkan bahwa Allah pun akan meminta pertanggungjawaban: bagaimana kita menjaga hak anak-anak, bagaimana kita membagi harta secara adil, bagaimana kita mendidik dengan kasih sayang, dan bagaimana kita melatih diri untuk berlaku lurus.


Namun, ketakwaan itu tidak cukup berhenti pada niat atau rasa takut. Ia harus diwujudkan dalam bentuk nyata, dan salah satu wujud nyatanya adalah ucapan. Al-Qur’an menyebutnya sebagai qawlan sadīdan, ucapan yang lurus, benar, dan menenteramkan. Ucapan adalah pintu masuk ke dalam jiwa. Seorang pakar psikologi Islam menjelaskan bahwa kata-kata orangtua adalah seperti “program” yang masuk ke dalam pikiran anak. Kata-kata penuh kasih, doa yang tulus, dan kalimat motivasi yang sederhana dapat mengubah arah hidup seorang anak. Sebaliknya, kata-kata kasar, caci maki, atau doa buruk dapat menjadi luka batin yang terbawa hingga dewasa.


Jika kita mau jujur, banyak dari kita adalah hasil dari kata-kata orangtua kita di masa lalu. Ada yang tumbuh percaya diri karena pernah mendengar orangtuanya berkata, “Ayah bangga padamu.” Ada juga yang tumbuh minder karena terus menerus mendengar, “Kamu bodoh, kamu tidak berguna.” Dalam psikologi modern, ini disebut self-talk atau percakapan batin yang terbentuk dari apa yang sering kita dengar di masa kecil. Al-Qur’an telah jauh-jauh hari mengingatkan agar orangtua melatih diri untuk berucap lurus, jujur, dan menenteramkan, karena itulah warisan yang akan melekat pada generasi.


Harta warisan bisa habis. Rumah dan tanah bisa diperebutkan. Tapi warisan berupa ketakwaan dan ucapan yang benar akan melekat di dalam jiwa anak cucu kita selamanya. Inilah yang disebut harta tak kasat mata. Ia tidak terlihat secara materi, tetapi sangat nyata pengaruhnya terhadap nasib generasi. Seorang anak yang tumbuh dengan doa orangtuanya, dengan komunikasi yang sehat, akan lebih mudah menjadi pribadi yang tangguh, berakhlak, dan mandiri.


Komunikasi yang baik dalam keluarga juga berdampak luas pada masyarakat. Ketika orangtua terbiasa berbicara dengan jujur, anak-anak akan meniru dan membawa kebiasaan itu ke ruang sosial yang lebih besar. Dari kebiasaan kecil itulah lahir masyarakat yang lebih sehat, penuh kepercayaan, dan minim konflik. Sebaliknya, komunikasi yang buruk melahirkan generasi yang penuh luka batin, sulit percaya kepada orang lain, dan akhirnya mewarisi siklus konflik yang panjang.


Membaiknya komunikasi dalam keluarga sesungguhnya adalah salah satu cara paling efektif untuk memperbaiki nasib keturunan. Memang benar, komunikasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia harus didukung oleh tindakan nyata, seperti pendidikan yang baik, nafkah yang halal, dan lingkungan yang sehat. Tetapi tanpa komunikasi yang baik, semua itu bisa kehilangan makna. Nafkah bisa menjadi tidak bernilai bila disertai bentakan, pendidikan bisa gagal bila anak kehilangan rasa percaya diri karena kata-kata kasar yang diterimanya setiap hari.


Komunikasi yang baik tidak berarti selalu manis dan lembut. Ia juga mencakup kejujuran, ketegasan, dan arahan yang jelas. Ketika orangtua menegur anak, ia bisa berkata dengan tegas namun penuh kasih: “Nak, perbuatanmu salah. Ayah ingin kamu belajar dari ini agar kamu bisa lebih baik.” Kalimat sederhana ini berbeda jauh dampaknya dengan bentakan: “Kamu selalu bikin masalah! Memang dasar kamu tidak bisa diandalkan.” Teguran pertama menumbuhkan rasa tanggung jawab, sementara yang kedua menanamkan luka batin.


Apa yang diwariskan orangtua bukan hanya harta, melainkan juga nilai. Taqwa dan qawlan sadīdan adalah warisan yang tidak bisa dibeli dengan uang, tetapi sangat menentukan arah hidup generasi.


Karena itu, jika kita ingin melihat anak-anak kita kelak tumbuh kuat, berakhlak mulia, dan diberkahi hidupnya, maka mulailah dari hal yang paling sederhana: perbaiki komunikasi kita. Latih diri untuk berkata jujur, berikan doa dalam setiap ucapan, biasakan kata-kata yang menenteramkan, dan hindari tutur yang melukai. Kita tidak hanya menjaga anak-anak hari ini, tetapi juga sedang memperbaiki nasib keturunan yang akan datang. 

“Warisan terbesar orangtua bukanlah harta, melainkan taqwa dan ucapan yang benar; keduanya akan hidup abadi dalam jiwa anak cucu dan menentukan nasib generasi.”[]

Previous Post Next Post